Gunung Tanpa Puncak

Mahfud Achyar
9 min readSep 15, 2022

--

Mt. Merapi (2018)

Jika ditanya, sejak kapan saya mulai suka mendaki gunung? Saya tidak ingat persisnya kapan. Namun ketika kecil, saya sering melihat puncak gunung; saya penasaran seperti apa rasanya berada di puncak gunung? Pasti menyenangkan bisa melihat cakrawala yang luas. Pasti jadi memiliki sudut pandang yang lebih luas dibandingkan orang-orang di bawah.

Ketika kecil, kakak perempuan pertama saya sudah mendaki gunung. Ia memamerkan foto-fotonya ketika di gunung. Saat itu, belum ada kamera digital. Jadi, foto-foto masih dicetak. Dari sekian banyak foto, saya terkesima dengan foto pemandangan matahari terbit. Indah sekali. Tidak pernah saya melihat secara langsung matahari terbit dari puncak gunung. Saya tidak mengamini bahwa suatu saat saya juga akan menyukai hobi kakak saya tersebut.

Beranjak remaja, saya beberapa kali mendaki bukit bersama sepupu saya. Kami sepakat untuk adu kecepatan, siapa yang paling dulu sampai di atas bukit. Saya tidak ingat siapa pemenangnya. Mungkin kami tiba di puncak bukit dalam waktu yang bersamaan. Pernah juga, saya mengunjungi sebuah bukit yang cukup jauh dari rumah. Berada di atas bukit, membuat saya berpikir betapa kecilnya manusia.

Kali Pertama Naik Gunung

Berbeda dengan bukit yang memiliki ketinggian minimal 200 hingga 300 meter, gunung memiliki ketinggian minimal 2000 kaki atau sekitar 610 meter. Namun, ada juga yang menyebut bahwa ketinggian gunung minimal 1000 kaki atau setara dengan 300 meter.

Tahun 2008. Tahun kedua saya kuliah di Universitas Padjadjaran, kampus Jatinangor. Kampus saya diapit oleh dua gunung, yaitu Gunung Manglayang dan Gunung Geulis. Senior kampus bilang, “Belum sah jadi anak Unpad jika belum mendaki kedua gunung tersebut!”

Seorang senior yang kami panggil A Imat, mengajak saya dan teman-teman satu kontrakan untuk mendaki Gunung Manglayang yang memiliki ketinggian 1.818 meter. Kami berangkat malam hari dengan peralatan seadanya: sweater, sleeping bag, senter, dan juga matras.

Pendakian malam hari dengan penerangan seadanya, membuat kami ekstra hati-hati. Kami melangkah perlahan sembari memastikan pijakan kami sudah sesuai dengan jalur utama menuju puncak. Sesekali, saya juga melihat ke bawah memastikan sudah sejauh mana kami melangkah. Kata orang, malam hari bumi seperti dilipat sehingga perjalanan terasa lebih singkat. Entahlah, apakah teori itu benar adanya?

Beberapa jam mendaki, akhirnya kami sampai di salah satu puncak Gunung Manglayang. Masih dini hari sehingga kami memutuskan untuk menggelar matras, membungkus diri dengan sleeping bag, dan memutuskan untuk memajamkan mata. A Imat membiarkan kami tidur duluan. Ia membuat api unggun untuk menghangatkan kami. Kami tidur menghadap langit malam yang bertabur bintang. Tanpa tenda. Langit malam adalah atap kami. Selamat malam, dunia.

Tidak berselang lama, kami semua akhirnya terbangun. Kami salat Subuh berjamaah kemudian menunggu datangnya matahari terbit di ufuk timur. Perlahan, gelapnya malam ditelan semburat cahaya matahari berwarna merah. Langit berubah menjadi biru dan cahaya langit terpolarisasi.

Mt. Manglayang (2008). Photo by A Imat.

“Oh, seperti ini ternyata pemandangan matahari terbit di puncak gunung. Indah sekali,” gumam saya dalam hati. Akhirnya bertahun-tahun kemudian, saya bisa melihat pemandangan yang sama seperti dilihat kakak perempuan pertama saya. Pantas saja dia begitu bangga memamerkan foto-foto di puncak gunung. Memang seindah itu. Bahkan lebih indah. Mata adalah sebaik-baiknya lensa yang diciptakan Tuhan untuk umat manusia.

Naik Gunung Itu Candu!

Pengalaman mendaki gunung pertama pada 2008 ternyata mengantarkan saya pada puncak-puncak tertinggi di Indonesia. Saya mendaki naik gunung adalah panggilan hati, sesuatu yang saya sukai, sesuatu yang ingin saya lakukan berkali-kali dan terus menerus. Meski, mendaki gunung sangatlah melelahkan: harus membawa tas carrier yang berat, harus siap dengan berbagai medan pendakian yang tidak terduga, harus siap dengan segala cuaca, harus bersabar dengan kata-kata, “Sedikit lagi puncak.”

Kata orang bijak, “Pain is temporary. It may last a minute, or an hour or a day, or a year, but eventually it will subside and something else will take its place. If I quit, however, it lasts forever.”

Ketika mendaki gunung, saya mengutuk diri sendiri mengapa saya mau susah payah untuk mencapai puncak? Belum lagi jika hujan turun, jarak pandang semakin pendek, kacamata berembun, napas tersengal-sengal, pundak terasa sakit, napas terasa pendek, kaki enggan untuk melangkah.

Saya membayangkan betapa nyamannya berada di rumah sambil bermalas-malasan, menyeruput teh sambil menonton film favorit. Namun, saya ternyata seorang achiever. Puncak adalah tujuan saya walau banyak orang yang beranggapan bahwa naik gunung tidak harus sampai puncak. Jika naik gunung diibaratkan dengan maraton, maka puncak adalah garis finish saya. Saya harus mencapainya. Saya harus menyelesaikan perlombaan dengan diri saya sendiri.

Di beberapa gunung, seperti Gunung Pangrango dan Gunung Merapi, saat teman-teman saya enggan sampai ke puncak, saya memaksa diri sendiri untuk bisa sampai ke puncak. Mungkin terkesan memaksa diri, mungkin juga terkesan egois.

Di Gunung Pangrango misalnya, saat itu, kami memutuskan untuk membagi tim ketika summit attack. Saya memilih tim advance dengan harapan bisa sampai puncak lebih awal. Saya hanya berdua dengan teman saya yang kami panggil Abah.

Setelah beberapa jam mendaki dari Kandang Badak, tiba-tiba hujan turun dengan intesitas lebat. Saya dan Abah mempercepat langkah hingga akhirnya tiba di lembah Mandalawangi saat hujan reda. Saat itu, hanya ada satu tenda yang berdiri. Sepertinya juga mereka siap-siap bergegas untuk turun. Saya dan Abah berjalan-jalan di antara pohon-pohon Edelweiss yang belum mekar sempurna.

Lembah Mandalawangi, Mt. Pangrango (2016)

Lembah Mandalawagi. Saya mengenalnya dari salah satu puisi Soe Hok Gie yang ditulis pada 19 Juli 1966 di Jakarta. “…Aku cinta padamu, Pangrango yang dingin dan sepi. Sungaimu adalah nyanyian keabadian tentang tiada. Hutanmu adalah misteri segala. Cintamu dan cintaku adalah kebisuan semesta…”

Lain cerita, ketika mendaki Gunung Merapi, teman-teman saya memutuskan untuk tidak ke puncak. Mereka cukup senang menikmati pemandangan matahari pagi dari Camp Pasar Bubrah. Namun, saya tidak cukup puas. Puncak Garuda terlihat sangat dekat. “Saya harus ke sana, saya pasti bisa.”

Mt. Merapi (2018)

Setelah melewati jalanan berbatuan dan takjarang jatuh, akhirnya saya sampai di Puncak Garuda. Di atas sana, sudah ramai orang-orang untuk berfoto sembari memegang tulisan, “Puncak Merapi 2930 mdpl”.

Langit saat itu begitu biru. Tidak ada awan sama sekali. Bau belerang pun tidak begitu menyengat. Berada di Puncak Garuda membuat saya merasa takjub sekaligus merinding pada waktu yang bersamaan. Indah tapi juga menakutkan.

Tidak Melulu tentang Puncak

Seorang sahabat saya, Cahyo, berkata, “Finish naik gunung itu bukan di puncak, tetapi di rumah. Kembali ke rumah dengan selamat adalah tujuan kita.” Mendengar ucapannya, membuat saya mengernyitkan dahi. Berusaha mengkritisi, tetapi memang benar adanya. Keselamatan adalah hal yang utama, keselamatan menjadi prioritas bersama.

Dari sekian banyak gunung yang sudah saya daki, nyatanya ada beberapa gunung yang saya sebut “Gunung Tanpa Puncak”. Ya, saya tidak berhasil mencapai puncak gunung seperti Gunung Slamet dan Gunung Tandikat.

Gunung Slamet

Gunung Slamet merupakan gunung berapi kerucut tipe A yang berada di Jawa Tengah. Gunung ini disebut-sebut sebagai gunung tertinggi di Jawa Tengah. Saya mendaki Gunung Slamet bersama teman-teman pada 4 Desember 2015.

Mt. Slamet (2015)

Bisa dibilang, pendakian Gunung Slamet adalah pendakian yang cukup berat. Sepanjang pendakian, hujan turun dengan intesitas lebat. Rute yang terjal dan jalan yang licin membuat kami sangat ekstra hati-hati. Beberapa teman juga sering terpeleset. Sore hari, tepat di pos 3, kami memutuskan untuk menyudahi pendakian kemudian mendirikan tenda.

Setelah mendirikan tenda dan bersih-bersih, kami mulai masak untuk makan malam. Tubuh kami semua terasa sangat lelah. Jadi, kami makan seadanya dan berharap energi dapat pulih kembali ketika summit attack dini hari. Tidur juga tidak nyenyak. Bukan lantaran dingin tapi ada bagian-bagian dalam tenda yang basah.

Dini hari saat mau summit attack, saya merasakan adalah yang salah dengan tubuh saya. Baru jalan beberapa langkah, perut saya terasa mual, kepala saya pusing hebat seolah akan pingsan. Saya bilang ke teman-teman untuk tidak melanjutkan summit attack dan memilih kembali beristirahat di tenda. Beruntung saat itu, salah seorang teman saya, Tyo, juga tidak ikut ke puncak. Thank you, Tyo!

Gunung Tandikat

Gunung Tandikat adalah gunung berapi yang terletak di Dataran Tinggi Minangkabau, 7,5 km dari kota Padang Panjang yang memiliki ketinggian 2.438 m. Ini adalah gunung kedua yang saya daki di Sumatera Barat. Sebelumnya, saya pernah mendaki Gunung Talang bersama adik laki-laki saya.

Mt. Tandikat (2022)

Pendakian dilakukan pada 5 Mei 2022. Hari keempat Idulfitri 1443 H. Saya mendaki bersama kakak-adik dan sepupu saya. Kebetulan, tahun ini, kami sekeluarga pulang kampung dan berlebaran di ranah Minang.

Naik gunung bersama keluarga merupakan ide yang sudah sejak lama saya sampaikan. Namun, ternyata baru bisa terealisasi tahun ini. Awalnya, ada dua gunung yang menjadi kandidat untuk kami daki, yaitu Gunung Marapi dan Gunung Singgalang. Namun, dengan pertimbangan bahwa kedua gunung tersebut memiliki medan yang cukup berat apalagi didaki oleh pendaki pemula, akhirnya saya mengusulkan untuk mendaki Gunung Tandikat.

Kakak perempuan pertama saya sebetulnya bersikeras ingin mendaki Gunung Merapi. Katanya, ia belum pernah ke sana. Namun akhirnya mengalah dan memilih Gunung Tandikat sebagai tujuan pendakian kami.

Pendakian dilakukan secara tektok. Artinya, kami tidak akan mendirikan tenda atau menginap. Namun sejak awal, saya sudah ragu bisa sampai ke puncak karena kami memulai pendakian cukup siang. Dengan perhitungan kekuatan setiap orang yang berbeda-beda, sementara kita harus tetap bersama-sama, maka semakin tipis harapan kami bisa sampai puncak.

Akhirnya, kami membagi tim menjadi dua kelompok. Kelompok pertama; saya, sepupu saya, dan keponakan saya. Kelompok kedua; kakak-kakak dan adik-adik saya. Kelompok pertama bergerak lebih cepat sementara kelompok kedua lebih lambat. Sore hari, kelompok pertama sudah mencapai shelter 3. Akhirnya disusul oleh dua kakak perempuan saya. Kelompok kedua masih jauh tertinggal di bawah.

Saat berada di shelter 3, ada dua jalan menuju puncak yang cukup membingungkan kami. Akhirnya, kami memilih jalan yang besar dan sangat yakin itulah jalan ke puncak. Selangkah demi selangkah kami terus naik menuju puncak. Tidak terasa sudah satu jam lebih kami berjalan namun puncak takkunjung terlihat. Padahal semestinya jarak dari shelter 3 ke puncak tidak begitu jauh.

Matahari segera terbenam. Kabut pun mulai menyergap di antara dahan-dahan dan ranting. Udara terasa dingin. Langit yang tadi terang berubah gelap. Kami mulai mempertanyakan, apakah kami melalui jalan yang benar? Namun, kami merasa yakin bahwa kami melalui jalur yang benar karena ada penanda di setiap berapa meter. Memang terasa ganji karena tanda-tanda tersebut berada agak jauh dari jalur pendakian. Takjarang, kami harus menerabas semak belukar. Kakak saya mengambil insiatif mematahkan dahan-dahan pohon sebagai penanda untuk kelompok kedua jika menyusul kami.

Semakin jauh, semakin gelap, semakin kami yakin bahwa kami tersesat. Saya melihat jam sudah menunjukkan pukul enam lebih. Kami sungguh gusar dan panik bagaimana jika kami benar-benar tersesat? Hanya kami berlima; saya, dua kakak perempuan saya, sepupu laki-laki saya, dan keponakan perempuan saya. Tiba-tiba pikiran buruk lalu lalang memenuhi kepala saya. Jantung saya berdetak kencang. Saya hampir tidak bisa mengendalikan kepanikan saya.

Kami mencoba untuk turun dan melewati jalan yang sama. Namun apa hasilnya? Kami hanya berputar-putar di sana. Kami melewati jalan yang itu-itu saja. Tidak ada tanda-tanda kami kembali shelter 3. Seolah-olah kami tersesat di labirin takberkesudahan. Akhirnya, kami memutuskan berhenti dan menarik napas dalam-dalamnya. Kami semua terdiam membisu.

Saya diminta untuk memimpin perjalanan kembali ke shelter 3 dengan mengikuti patahan-patahan dahan yang tadinya dibuat untuk petunjuk kelompok kedua — ternyata justru petunjuk untuk kami kembali pulang. Ketika saya menemukan patahan dahan, saya mengkonfirmasi apakah benar ini jalur yang tadi? Mereka menjawab, “Iya”.

Kami terus berjalan mengikuti patahan-patahan dahan dengan bermodalkan penerangan seadanya dari cahaya ponsel. Setelah cukup lama berjalan, kami berteriak memanggil nama-nama di kelompok kedua. Tiba-tiba kami mendengar ada suara yang kemungkinan itu adalah suara adik laki-laki saya. Saya pun membalas suara tersebut sebagai tanda bahwa posisi kami tidak begitu jauh.

Entah mengapa perjalanan saat itu terasa begitu lama karena hati saya begitu gusar. Namun, saya harus tenang dan fokus agar sesegera mungkin sampai di shelter 3 . Alhamdulillah, akhirnya kami sampai di shelter 3. Beristirahat sejenak kemudian kembali melanjutkan perjalanan turun untuk kembali pulang ke rumah.

Gunung dan cerita-cerita yang mengikutinya

Banyak yang beranggapan bahwa gunung menyimpan cerita-cerita magis dan mistis. Entahlah. Namun berdasarkan pengalaman pribadi selama mendaki gunung, saya tidak pernah menemukan hal-hal yang aneh ketika di gunung. Mungkin pernah muncul perasaan-perasaan yang ganjil. Namun saya selalu tepis perasaan tersebut. Saya selalu berkeyakinan jika niat kita baik, Allah akan selalu menjaga kita.

Pelajaran yang saya dapatkan dari semua kejadian di gunung, yaitu:

  1. Jika tidak berhasil mencapai puncak, tidak masalah. Coba lagi lain kesempatan. Gunung tidak akan pergi.
  2. Keselamatan selama pendakian adalah hal yang utama. Usahakan tetap dalam satu grup. Tidak terpisah-pisah.
  3. Perhatikan peralatan pribadi dan kelompok, terutama air minum, makanan, P3K, senter, dan jas hujan.
  4. Selalu perhatikan tanda. Jika ragu, berhenti sejenak dan pastikan sudah berada di rute yang benar.
  5. Positive thinking. Jangan biarkan pikiran dan perasaaan dikuasai hal-hal yang buruk.

Saya ingin terus bisa mendaki gunung. Saya menyukai gunung bukan hanya karena ingin mencapai puncak-puncak tertinggi, tetapi saya menyukai gunung karena di sana saya merasa diterima.

Jika ada yang bertanya, mengapa harus gunung? Haruskah selalu ada alasan untuk mencintai?

--

--

Mahfud Achyar

Author of “JEDA” (2020) & “Jalan Inspirasi Profesor Muda: Prof Fiz” (2021).